Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lanjutan Bab II: KESESATAN LOGIKA: Tidak Disebutkan Berarti Tidak Ada

KESESATAN LOGIKA: Tidak disebutkan berarti tidak ada

Hanif dkk. mengatakan:


―1. Tujuh kitab yang dikutip Imaduddin memang tidak menyebutkan Ubaidillah/ Abdullah sebagai anak dari Ahmad bin Isa. Namun, yang perlu diperhatikan, tidak ada satu pun dari kitab tersebut yang menafikan Abdullah sebagai putra Ahmad bin Isa. Tidak mendapatkan bukan berarti tidak ada, atau senada dengan hal tersebut, tidak disebutkan bukan berarti tidak ada. Mungkin saja ada, hanya saja tidak disebutkan di tempat tersebut, tapi disebutkan di tempat lain. Ini merupakan logika yang sangat mendasar dalam sebuah kajian ilmiah.  والقاعدة  العلمية ات١شهورة تقول: عدم الوجدان لا يستلزم عدم الوجود  أي عدم رؤيتك لشيء تفتش عنو لا يستلزم أن يكون تْد  .ذاتو مفقودا أو غتَ موجود

"Kaidah ilmiah yang populer berbunyi, tidak menemukan sesuatu tidak mengharuskan sesuatu itu tidak ada. Ketika mencari sesuatu namun sesuatu itu tidak ditemukan, hal itu tidak mengharuskan sesuatu itu tidak ada."[1]

Dari ungkapan Hanif di atas penulis memberikan jawaban bahwa kenapa tidak ada satupun kitab-kitab nasab yang menjadi rujukan penulis yang menafikan nama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad. jawabannya adalah: bagaimana dinafikan sedangkan namanya saja tidak ada yang pernah menyebutkan. Yang bisa dinafikan itu adalah ia yang ada, jika ia yang tiada bagaimana bisa dinafikan. Missal pada abad kelima itu dimunculkan nama Ubaid sebagai anak Ahmad oleh seorang nassabah lalu nassabah lain menafikan, kejadian seperti itu mungkin dan banyak terjadi. Tetapi nama Ubaid ini tidak pernah muncul di abad 4-9 dalam kitab-kitab nasab sama sekali. Ia pertama kali muncul pada abad sembilan Hijriyah dalam pengakuan seorang Ba‘alwi yang bernama Ali alSakran.  

KESESATAN LOGIKA Tidak disebutkan berarti tidak ada  Hanif dkk. mengatakan


Hanif dkk. salah membawakan kaidah. Kaidah yang dibawakan itu untuk masalah akidah, yakni untuk sesuatu yang telah diketahui keberadaanya melalui wahyu semacam keberadaan jin, kita harus meyakininya. Tidak boleh kita mengatakan bahwa jin itu tidak ada hanya karena kita tidak dapat melihatnya. Kaidah hanif itu dikutip dari kitab Fiqh al Sirat al-nabawiyyah karya Muhammad said ramadlan alButi. Silahkan perhatikan kalimat sebelumnya dalam kitab tersebut:  ولا  ينبغي أن يقع العاقل في أشد مظاىر الغفلة واتٞهل من حيث يزعم  أنو لا يؤمن إلا تٔا يتفق مع )العلم( ، فيمضي يتبجح بأنو لا يعتقد  بوجود اتٞان، من أجل أنو لم ير اتٞان ولم يحسّ بهم .إن من البداىة  تٔكان أن مثل ىذا اتٞهل ات١تعالم، يستدعي إنكار كثتَ من ات١وجودات  اليقينية لسبب واحد ىو عدم إمكان رؤيتها. والقاعدة العلمية  ات١شهورة تقول: عدم الوجدان لا يستلزم عدم الوجود؛ أي عدم  رؤيتك لشيء تفتش عنو لا يستلزم أن يكون تْد ذاتو .مفقودا أو غتَ موجود

Jadi kaidah itu bicara tentang jin yang dia ada tapi tidak kelihatan. Bukan bicara tentang Ubaid yang tidak disebut sebagai anak Ahmad. 

Sedangkan nasab Ubaid itu tidak masuk dalam kaidah itu, karena Ahmad bin Isa sudah disebutkan namanya dan bahwa anaknya ada tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak bisa Hanif berargumen Ubaid tidak disebutkan sebagai anak Ahmad bukan berarti ia bukan anak Ahmad, karena anak lainnya sudah disebutkan. 

Hanif mengatakan:

―Begitu pula dalam kaidah ilmu nasab. Tidak menyebutkan berarti sukut (diam). Sukut tidak berarti apa-apa, baik isbat (menetapkan) maupun nafi (menafikan). Berikut keterangannya:

السكوت على النسب وعدم ذكره: لا يعتبر في علم النسب لأن الساكت يحتمل في أمره اتٞهالة أو الأخذ عن جاىل أو الاقتصار ورتٔا يكون ذكر النسب في كتاب آخر لم يصلنا  

"Diam tentang sebuah nasab dan tidak menyebutkannya tidak memiliki arti menurut ilmu nasab. Orang yang diam tentang nasabnya kemungkinan karena ketidaktahuan, mengambil dari orang yang tidak tahu, atau karena membatasi atas apa yang telah disebutkan. Mungkin saja nasab yang tidak disebutkan tadi disebutkan dalam kitab lain yang belum sampai kepada kita."[2]

Kaidah ini tidak tepat digunakan untuk nama Ubaid yang tidak disebut sebagai anak Ahmad. kenapa anak lain disebutkan lalu Ubaid tidak disebutkan? jawabannya karena Ubaid bukan anak Ahmad. jika fenomenanya misalnya hanya disebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak, sedangkan nama anak-anaknya tidak disebutkan itu dapat dimengerti, tetapi ini nama seluruh anaknya sudah disebutkan di abad 6-H., dan di sana tidak ada nama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Maka pengakuan selanjutnya akan adanya nama anak Ahmad selain tiga anak itu tertolak. 

Kalau Hanif mengatakan: mungkin di kitab lainnya yang ada di sekitar abad ke-5 dan ke-6 Hijriah ada yang menyebutkan Ubaid sebagai anak Ahmad. silahkan bawa kitabnya jika ada. TIDAK ADA.

Kaidah yang tepat untuk nasab Ba‘alwi adalah:  يظهر صنع النسب من خلال الانتساب الى ابن ت٣هول واب

معلوم

Terjemah:

―Kepalsuan nasab jelas terlihat dari bernasab kepada anak yang tidak disebutkan kepada ayah yang disebutkan‖.[3] 

Ciri-ciri kuat bahwa nasab Ba‘alwi palsu adalah bernasab kepada Ubaid yang tidak disebutkan kitab nasab, yang katanya anak dari Ahmad yang disebut dalam kitab nasab. 

 

Kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah Adalah Kitab Mukhtasar (Ringkasan)

Hanif dkk. mengatakan:

―Sebagai contoh, dalam kasus ini, penulis kitab Syajarah Mubarakah tidak mensyaratkan ihathah (menyebut secara keseluruhan). Bahkan, di awal kitabnya beliau menegaskan bahwa kitab tersebut hanya mukhtashar (ringkasan). Setelah basmalah, beliau menuliskan: ٌذا مختصز فً عهم الأوساب."Ini adalah ringkasan, dalam ilmu nasab" (al-Syajarah al-Mubarakah, him. 3).‖[4]

 

Kitab Al Syajarah al Mubarakah diawali oleh kalimat “Hadza Mukhtasarun fi „ilmil ansab” ini adalah ringkasan dalam ilmu nasab. karena kitab tersebut adalah kitab mukhtashar maka wajar nama Ubaid tidak disebutkan sebagai anak Ahmad. mungkin demikian maksud Hanif dkk. hal itu mengindikasikan Hanif dkk. tidak memahami makna ―mukhtasar‖ secara umum dan makna ―mukhtasar‖ dalam ilmu nasab secara khusus. Suatu ―mukhtasar‖ (ringkasan) tidak boleh mengurangi dari ―murad al kalam‖ (maksud pembicaraan), ia hanya mengurangi dari ―tatwilulkalam‖ (memperpanjang pembicaraan). Seperti pada halaman pertama kitab Al Syajarah al Mubarakah tersebut, Imam Al Fakhrurazi menyebutkan ―Anak yang berketurunan dari Sayidina Ali ada lima…‖ padahal, keseluruhan anak Sayidina Ali banyak, para sejarawan mencatat mencapai 18 anak. Tetapi yang disebutkan oleh Imam Fakhrurazi hanya lima yang berketurunan saja, kenapa? Karena kitab Al Syajarah al Mubarakah adalah kitab ringkasan. Kalau ia kitab itnab (bukan mukhtasar), maka akan disebutkan dulu bahwa anak Sayidina Ali berjumlah 18 yaitu: Hasan, Husen dan seterusnya, baru kemudian mengatakan: sedangkan anak yang berketurunan dari 18 itu hanya lima, mereka adalah dst.

Jika Imam Fakhrurazi mengetahui bahwa anak yang berketurunan dari Sayidina Ali berjumlah lima anak, lalu ia mengatakan tiga, maka itu bukan mukhtasar, tetapi sengaja berdusta. Contoh lainnya Imam Fakhrurazi mengetahui sesuai dengan pengetahuannya bahwa anak yang berketurunan dari Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain, lalu ia katakana demikian, maka itu bukan mukhtasar, tetapi memang anaknya hanya tiga.

Tidak masuk logika awam, orang yang diketahui anaknya empat lalu dikatakan tiga dengan niyat meringkas kalimat. Jika kita melihat ada tiga ekor bebek berjalan lenggak-lenggok di depan kita, lalu teman di samping kita bertanya ―ada berapa ekor bebek itu?‖ lalu kita berkata ―bebek itu ada dua ekor‖. Kok dua, kan ada tiga? Saya niyat mukhtasar (meringkas kalimat)! Ndak bisa. Kemungkinan orang yang mengatakan bebek itu ada dua ekor: ia buta, tidak bisa menghitung, atau ia sengaja berdusta untuk suatu tujuan.

Ketika Imam Fakhrurazi menyebut anak yang berketurunan ada tiga Muhammad, Ali dan Husain. Maka ada beberapa kesimpulan yang dapat kita fahami dari narasi itu. Pertama, anak Ahmad bin Isa yang mempunyai keturunan sampai masa Imam Fakhrurazi hanya tiga; kedua, ada anak lain selain tiga itu, tetapi tidak berketurunan; ketiga, ada anak lain yang berketurunan, misalnya Ubaidillah, namun Imam fakhrurazi sengaja berbohong karena suatu motif tertentu. Jika seandainya point ketiga itu yang terjadi, lalu apa motif Imam fakhrurazi tidak menyebutkan Ubaidillah? Kaum Ba‘alwi harus dapat menginvestigasi apa motif Imam fakhrurazi tidak menyebutkan Ubaidillah. Apakah karena sentiment? Ada permusuhan? Atau apa?

Jelas tidak akan dietmukan motif-motif itu. Imam Fakhrurazi tinggal di Roy pada abad ke enam dank e tujuh. Ia sama sekali tidak mengenal Ubaidillah; ia pun tidak pernah tahu nanti di suatu masa akan ada orang yang nyantol dalam nasab Ahmad bin Isa itu. Ia hanya mencatat sesuai ilmunya bahwa anak Ahmad bin Isa yang berketurunan ada tiga: Muhammad, Ali dan Husain.

Hanif mengatakan:

―Kesimpulannya, kerangka berpikir Imaduddin yang menyimpulkan Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa lantaran tujuh kitab tidak menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa-merupakan bentuk kecacatan logika. Kerangka berpikir yang benar, tidak disebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bukan berarti Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa. Faktanya, ada kitab-kitab lain yang menegaskan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa sehingga kitab-kitab tersebut saling melengkapi informasi.‖[5]

Kata hanif: walau tidak disebut dalam kitab Al-syajarah, ada kitab-kitab lain yang menyebutkan Ubaid sebagai anak Ahmad. mana kitab nasabnya? Tidak ada. kecuali setelah abad ke-9 H. walau dalam kitab Al-syajarah tidak disebutkan jika dalam kitab lain disebutkan itu dapat diterima. Nyatanya tidak ada kitab nasab sebelum abad ke-9 H. yang menyebut Ubaid adalah anak Ahmad. pertama kali nama ubaid muncul sebagai anak Ahmad ada di kitab milik Ba‘alwi; dan kitab nasab yang menyebut pertama kali adalah Tuhfat al-Thalib (996 H.) itupun dengan pengakuan bahwa ia menyebutkannya tanpa referensi kitab nasab, hanya mendapatkan dari sebuah ta‘liq (catatan kecil). 

 

Jumlah Ismiyah Ismiyah Kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah adalah

Hasr (Terbatas) Hanif dkk. mengatakan:

―Hanya menyebutkan tiga berarti menafikan yang lain, termasuk meniadakan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Lagi-lagi, kerangka berpikir. Imaduddin yang seperti ini merupakan kesesatan logika…‖[6]

Itu bukan kesesatan logika, tetapi demikianlah para ahli nasab memberikan kaidah ilmi nasab bahwa apabila seorang ahli nasab telah mencatat jumlah anak dengan menggunakan ―jumlah ismiyah‖ maka itu menunjukan anaknya hanya sesuai jumlah yang disebutkan. Ketika Imam Al-Fakhrurazi menyebutkan anaknya tiga dengan menggunakan jumlah ismiyah ―Fa ‗aqibuhu min tsalasati banin‖ (keturunannya hanya dari tiga anak), maka memang anak Ahmad hanya tiga:Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid. 

Ibnu Inabah (w.828 H.) dalam kitab Umdat al-Talib al Kubra mengatakan:

ومن ذالك اذا قالوا عقبو من فلان او العقب من فلان فانو يدل على ان عقبو منحصر فيو وقوت٢م اعقب من فلان فان عقبو ليس تٔنحصرفيو تٞواز ان يكون لو عقب من غتَه

―Sebagian dari istilah para ahli nasab adalah ketika mereka mengatakan: عقثً مه فلان (aqibuhu min fulan: keturunannya dari si fulan, dengan jumlah ismiyah) atau انعقة مه فلان (al ‗aqbu min fulan: keturunannya dari si fulan, dengan jumlah ismiyah pula), maka itu menunjukan bahwa keturunannya hanya terbatas pada anak yang disebutkan itu. dan ucapan ahli nasab: اعقة مه فلان

(a‘qoba min fulanin: ia berketurunan dari si fulan, dengan menggunakan jumlah fi‘liyah), maka keturunannya tidak terbatas dari anak yang disebutkan, karena boleh jadi ia mempunyai keturunan dari anak lainnya.‖[7] 

 

Upaya Hanif Dkk. meragukan Kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah

Dalam bukunya tersebut Hanif dkk. berupaya meruntuhkan kekokohan kitab Al-Syajarah al-Mubarakah sebagai karya ulama besar Ahlussunah Waljamaah yaitu Imam al-Fakhrurazi. Seorang ahli nasab yang juga penulis kitab tafsir besar berjudul Mafatih al-Ghaib. Segala upaya itu akan sia-sia karena jelas tercatat dalam manuskrip itu bahwa kitab itu memang sahih karya Imam al-fakhrurazi. Perhatikan halaman terakhir kitab tersebut:

 

Manuskrip kitab Al-Sayajarah al-Mubarakah terdapat di Perpustakaan Masjid Sultan Ahmad al-Tsalits di Istanbul dengan nomor 2677. Naskah ini ditulis oleh Wahid bin Syamsuddin tahun 825 H. berdasarkan naskah asli yang ditandatangani oleh Imam Fakhruddin al-Razi yang selesai menulis tahun 597 H. Nama kitab dan Penisbatan kitab ini jelas tercatat rapih di akhir kitab: bahwa kitab ini bernama kitab Al-Syajarah al-Mubarakah salinannya disahkan oleh Muhammad bin Umar bin Husain al-Razi (pengarang kitab), kemudian Imam Al-Razi menulis bahwa ia telah membacakan kitab ini dihadapan Ali bin Syaraf Syah bin Abil Ma‘ali dan ia memberikan ijajah untuknya. 

 

Meragukan Al-Syajarah Al-Mubarakah karena Imam Mahdi Hanif dkk mengatakan:

‖Al-Imam Fakru al-Din al-Razi dikenal sebagai seorang ulama besar Sunni Syafi'i. Anehnya, banyak hal yang mengindikasikan secara kuat bahwa pemilik al-Syajarah al-Mubarakah adalah seorang yang berideologi Syiah. di antaranya sebagai berikut: 1) Pada halaman 78 dalam kitab al-Syajarah al-Mubarakah, tatkala penulis menyebutkan putra dari al-Imam Hasan al-Askari,

 [8].‖صاحة انشمان عجم الله فزجً انشزٌٌفdikatakan

Imam al-Fakhrazi memang ulama Sunni tetapi dalam masalah Imam Mahdi rupanya ia cenderung sama pandangannya dengan kaum

Syi‘ah. Yaitu menganggap Imam Mahdi telah lahir kemudian ghaib dan bergelar Sahib al-Zaman. Selain dalam kitab Al-Sayajarah alMubarakah, Imam Al-fakhrurazi menyebut pula Imam Mahdi sebagai Sahib al-Zaman dalam kitabnya Al-Mathalib al-Aliyah berikut ini:  وتٚاعة  من الشيعة الامامية يسمونو بالامام ات١عصوم وقد يسمونو بصاحب  الزمان ويقولون بأنو غائب ولقد صدقوا في الوصفتُ ...ايضا

Terjemah:

―Dan sekelompok orang dari Syi‘ah Imamiyah menyebutnya ‗Imam al-Ma‘shum‘. Dan terkadang menyebutnya juga ‗Shahib al-Zaman‘ dan mereka mengatakan bahwa ia ghaib. Dan mereka telah benar dalam dua sifat itu lagi…‖[9]

Perhatikan kalimat ―Walaqad shadaquu‖ (Sungguh mereka telah benar). Jadi jelas persetujuan Imam al-fakhrurazi kepada Imam Mahdi sebagai Shahib al-Zaman memperkuat bahwa kitab Al-Syajarah almubarakah itu adalah benar-benar kitab Imam al-Fakhrurazi karena dalam kitabnya yang lain ia membenarkan kelompok Syi‘ah yang menyebut Imam Mahdi sebagai Shahib al-Zaman.

 

Ketidak Akuratan Klaim Hashr Versi Hanif Dkk

Hanif Dkk. membawakan beberapa contoh bahwa Hasr

kadangkala tidak konsisten. Padahal, itu bukan tidak konsisten tetapi Hanif dkk. tidak faham metode para ahli nasab. contohnya, kata Hanif, dalam kitab Al-Syajarah al-Mubarakah anaknya Ali al-Uraidi disebut yang berketurunan ada tiga orang sementara di dalam kitab Tahdzib al- Ansab disebut ada empat orang.

Kitab Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke 6 H. menyebut anak Ali al-uraidi yang berketurunan tiga karena yang berketurunan di abad ke-6 itu hanya tinggal tiga anak. Sementara seabad sebelumnya dalam kitab Tahdzib al-Ansab yang berketurunan empat anak. Kemudian satu anak inqiradl (terputus keturunannya) di abad 6-H. sebagaimana direportase Al-Syajarah al-mubarakah. 

Contoh lain yang ditampilkan Hanif dkk. tentang tuduhan ketidakakuratan hasr dalam jumlah ismiyah hanya karena Hanif dkk. tidak memahami metode para ahli nasab seperti yang penulis sebutkan di atas. 

 

Jawaban Mahdi al-Raja’I Dijadikan Dalil Hanif dkk.

Demi membela nasabnya, Ba‘alwi mengirim utusan kepada Syaikh Mahdi al-Raja‘I (muhaqqiq kitab Al-syajarah al-mubarakah) untuk memberikan pengitsbatan kepada Nasab mereka. Syaikh Mahdi al-Rajai-pun mengitsbat bahkan dengan dua cara: pertama dengan tandatangan yang kedua dengan video. Tetapi tanda tangan dan video itsbat itu tidak berarti karena tidak ada dalil yang disampaikan Syaikh

Mahdi al-Raja‘i. dalam kaidah ilmu nasab tandatangan semacam itu tidak bermakna apa-apa dalam pengitsbatan nasab. sebagaimana Syaikh Khalil bin Ibrahim menyebutkan satu kaidah:

لا عبرة بكثرة التواقع ان لم يكن النسب صحيحا فكثرة التواقيع لا تصحح خطأ والتوقيع حجة على من وقع لا حجة على غتَه

Terjemah:

―Tidak ada nilainya banyaknya tandatangan jika nasab itu tidak sahih. Banyaknya tandatangan tidak mensahihkan yang salah. Tandatangan itu hujjah bagi penandatangan bukan hujjah bagi yang lainnya.‖[10]



[1] Hanif dkk…h.227

[2] Hanif dkk…228

[3] Khalil bin Ibrahim…h. 65

[4] Hanif dkk…h. 229

[5] Hanif dkk…h.235

[6] Hanif dkk…h.236

[7] Ibnu Inabah…h.340

[8] Hanif dkk…h. 243

[9] Imam al-Fakhrurazi, Al-mathalib al-Aliyah, juz ke-8 h. 106

[10] Khalil bin Ibrahim…h.125

Posting Komentar untuk " Lanjutan Bab II: KESESATAN LOGIKA: Tidak Disebutkan Berarti Tidak Ada"